A.
Sebelum Mengenal Tulisan dan
Terbentuknya Kepulauan Indonesia
1.
Konsep Berpikir
a.
Konsep diakronik
Ø
Diakronis berasal dari
bahasa Yunani, dia artinya melintasi atau melewati dan khronos yang berarti perjalanan waktu.
Ø
Sebab sejarah meneliti
gejala-gejala yang memanjang dalam waktu, tetapi dalam ruang yang terbatas.
Ø
Contoh : Sejarah Kerajaan Kutai (Abad IV-XIV), Sejarah
Proklamasi Indonesia (17 Agustus 1945). Judul-judul diberwaktu karena
menunjukkan sifatnya yang diakronik yaitu mengutamakan dimensi waktu.
b.
Konsep Sinkronik
Ø Kata sinkronis berasal dari bahasa Yunani syn yang berarti dengan, dan khronos yang berarti waktu, masa. Sinkronis
artinya meluas dalam ruang tetapi terbatas dalam waktu.
Ø Model sinkronik sering digunakan dalam ilmu
sosial, seperti : sosiologi, politik, ekonomi, agama dan antropologi.
Ø Menurut Sartono Kartodirjo, Ilmu sosial telah
mengalami perkembangan sehingga dapat menyediakan teori dan konsep yang berguna
dalam analisis sejarah.
c.
Konsep ruang dalam
sejarah
Ø
Ruang (dimensi Spasial), merupakan tampat
terjadinya berbagai peristiwa proses perjalanan waktu dengan batas ruang
tertentu.
Ø
Contoh: Sejarah Perang, seluruh wilayah yang
dipakai adalah medan perang itu sendiri.
d.
Konsep waktu dalam sejarah
Ø
Waktu (dimensi temporal) memiliki dua makna,
yaitu makna denotati dan konotatif. Makna waktu secara denotatif merupakan
satu-kesatuan, Yaitu detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, abad, dan
seterusnya.
Ø
Makna secara konotatif , waktu merupakan suatu
konsep.
Ø
Suatu kejadian pada masalalu yang tidak ada
hubungan dengan sekarang, maka pada masa lalu itu bukanlah sejarah.
2.
Masa Sebelum Mengenal Tulisan
Penggunaan istilah prasejarah dianggap kurang tepat. Kata
"prasejarah" terdiri atas dua kata, yaitu kata "pra"
artinya sebelum dan kata "sejarah" yang bermakna aktivitas manusia di
masa lalu. Jadi, kata prasejarah bermakna sebelum ada aktivitas manusia.
Padahal pada kenyataannya, manusia pada saat itu sudah memiliki sejarah dan
kebudayaan, meskipun belum mengenal tulisan.
Adapun kata "praaksara" juga terdiri atas dua kata, yaitu
"pra" dan "aksara". Kata "pra" berarti sebelum,
sedangkan kata "aksara" berarti tulisan. Dengan demikian, praaksara
dapat didefinisikan sebagai masa kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan.
Ada istilah lain yang mirip dengan arti praaksara, yaitu nirleka. Kata "nir"
artinya tanpa dan kata "leka" artinya tulisan.
Zaman praaksara berakhir setelah manusia mengenal tulisan. Indonesia
baru mengenal tulisan sekitar abad ke 4 dan ke 5 masehi. Hal ini lebih
terlambat dari Mesir dan Mesopotamia yang sudah mengenal tulisan sejak tahun
3000SM.
3.
Terbentuknya Kepulauan
Indonesia
Salah satu di antara teori ilmiah tentang
terbentuknya bumi adalah Teori “Dentuman Besar” (Big Bang), seperti dikemukaan
oleh sejumlah ilmuwan, seperti ilmuwan besar Inggris, Stephen Hawking. Teori
ini menyatakan bahwa alam semesta mulanya berbentuk gumpalan gas yang mengisi
seluruh ruang jagad raya. Jika digunakan teleskop besar Mount Wilson untuk
mengamatinya akan terlihat ruang jagad raya itu luasnya mencapai radius
500.000.000 tahun cahaya
proses evolusi bumi dibagi menjadi beberapa periode sebagai
berikut.
1.
Azoikum (Yunani: a= tidak; zoon= hewan),
yaitu zaman sebelum adanya kehidupan. Pada saat ini bumi baru terbentuk dengan suhu yang relatif
tinggi. Waktunya lebih dari satu miliar tahun lalu.
2.
Palaezoikum, yaitu zaman purba tertua. Pada masa
ini sudah meninggalkan fosil flora dan fauna. Berlangsung kira-kira 350.000.000
tahun.
3.
Mesozoikum, yaitu zaman purba tengah. Pada masa
ini hewan mamalia(menyusui), hewan amfibi, burung dan tumbuhan berbunga mulai
ada. Lamanya kira-kira 140.000.000 tahun.
4.
Neozoikum, yaitu zaman purba baru, yang
dimulai sejak 60.000.000 tahun yang lalu. Zaman ini dapat dibagi lagi menjadi dua
tahap (Tersierdan Quarter). Zaman es mulai menyusut dan makhluk-makhluk tingkat
tinggi dan manusia mulai hidup.
Proses terbentuknya pulau di Indonesia yaitu
Ø Menurut para ahli bumi, posisi pulau - pulau
di Indonesua terletak di atas tungku api yang bersumber dari magma dalam perut
bumi yang isinya berupa lava cair bersuhu tinggi.
Ø Sebagian wilayah kepulauan Indonesia
merupakan titik temu di antara tiga lempeng :
·
lempeng Indo
Australia di selatan
·
lempeng eurasia di
utara
·
lempeng pasifik di
timur
Ø Pada masa Palaezoikum, wilayah Indonesia
masih merupakan bagian samudra.
Ø Pada akhir Mesozoikum, kegiatan tektonis
menjadi sangat aktif menggerakkan lempeng Indo Australia, eurasia, dan pasifik
yang dikenal sebagai fase tektonis yang menyebabkan daratan terpecah - pecah.
Ø Sebagian pecahan benua eurasia bergerak ke
selatan membentuk pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, pulau-pulau di
NTB dan kepulauan Banda.
Ø Sebagian pecahan benua australia bergerak ke
utara membentuk pulau timor, kep. NTT, dan sebagian maluku tenggara.
Ø Sebagian besar Sumatra, Kalimantan dan Jawa
tenggelam menjadi laut dangkal akibat proses trangresi.
Ø Penelitian Alfred Russel Wallace membagi
Indonesia dalam 2 wilayah:
·
paparan sahul di
timur
·
paparan sunda di
barat
Ø Zona di antara 2 paparan dikenal sebagai
wilayah wallace yang menjadi pembatas fauna dari selat lombok sampai ke selat
Makassar.
Ø Zaman alluvium berlangsung kira-kira 20.000
tahun yang lalu sampai sekarang.
Ø Jalur gajah : sumatra, malaysia, thailand.
Ø Patahan di laut menyebabkan tsunami. Air
masuk ke lekukan, setelah penuh terbentuk gelombang yang tinggi.
B.
Manusia Purba di Indonesia
Sangiran terletak di kaki
Gunung Lawu, JawaTengah, 15 KM utara Surakarta. Di kawasan Sangiran tersimpan
data evolusi lingkungan purba tanpa terputus-putus. Dari temuan formasi tanah
yang sekarang diabadikan di Museum Sangiran, diketahuli cekungan Sangiran
dulunya adalah laut. Adanya kekayaan fosilSangiran dan formasi geologi purba
membuat kawasan Sangiran dilindungi. Sejak tahun 1977, Sangiran terdaftar dalam
UNESCO sebagai World Heritage. Membuat Indonesia dijuluki Museum Purba Dunia.
Tempat penting penemuan fosil di Indonesia
a.
Sangiran
·
Dalam buku “Sangiran
Menjawab Dunia” yang ditulis oleh Harry Widianto & Truma Simanjuntak
menjelaskan bahwa Sangiran merupakan sebuah komplek situs manusia purba yang
paling lengkap & paling penting di Indonesia
·
Sangiran ditemukan pertama
kali pada tahun 1864 oleh P.E.C, Schemulling, dengan penemuan fosil verteberata
dari Kalioso.
·
Eugene Dubois pernah datang
di Sangiran tetapi kurang tertarik. G.H.R Von Koenigswald tahun 1934 menemukan
“artefak litik” di Ngebung sekitar 2 km di barat laut kubah Sangiran. Sejak
saat itu sangiran menjadi terkenal dengan penemuan fosil Homo Erectus. Situs
sangiran memberikan gambaran tenang evolusi fisik manusia, budaya, binatang
& lingkungan
b.
Trinil, Ngawi, Jawa Timur
·
Salah satu situs
paleontrapologi diIndonesia yang terletak di desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar,
Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
·
Trinil merupakan tempat
hunian kehidupan purba (tepatnya pada zaman pleistosen tengah). Pada tahun 1890
Eugene Dubois menemukan fosil hewan dan tumbuhan purba.
·
Tengkorak pithecanthropus
erectus ini sangat pendek tetapi memanjang kebelakang . Volume otaknya sekitar
900 cc, diantara otak kera (600cc) dan otak manusia (1.200-1.400 cc). Tulang
kening sangat menonjol dan dibagian belakang mata terdapat penyempitan yang
menandakan otak belum berkembang.
·
Pada bagian belakang kepala
terlihat bentuk meruncing yang diduga berjenis kelamin perempuan. Berdasarkan
perekatan antar tulang kepala ditafsirkan manusia purba ini berukuran dewasa .
c. Ngandong, Blora, Jawa Tengah
·
Sejak tahun 1931 , daerah ngandong menjadi pusat
penelitian arkeolog yang dirintis oleh tim survai geologi Belanda Ter Haar,
Oppernnooth, dan Von Koenigswald
menemukan fosil – fosil manusia purba ,yang kemudia diberi nama Homo
erectus Ngandong. Berukuran besar dengan volume otak rata – rata 1.100 cc dan
diperkirakan berumur 100.000 – 300.000 tahun yang lalu.
·
Penemuan Ngandong ini berupa
11 buah fosil tengkorak dan 2 tibia atau tulang kering , sebagian dari jumlah
fosil itu sudah hancur, sedangkan lainnya masih dapat digunakan untuk bahan
penelitan yang berguna.
1.
Pengertian Manusia Purba
Manusia purba ( prehistoric
peopel) adalah jenis manusia purba yang hidup jauh sebelum tulisan
ditemukan . Manusia purba diyakini telah mendiami bumi sekitar 4 juta tahun
lalu. Namun , para ahli sejarah meyakini bahwa manusia jenis pertama telah ada
di muka bumi ini sekitar 2 juta tahun lalu. Karena lamanya waktu , sisa-sisa
manusia purba sudah membatu atau berupa menjadi fosil. Oleh karena itu, manusia
purba juga sering disebut manusia fosil.
Untuk mengetahui kehidupan manusia purba
di Indonesia ada 2 macam cara yaitu :
1.Melalui sisa-sisa tulang manusia, hewan, tumbuhan yang membatu
(fosil).
2.Melalui peninggalan peralatan dan perlengkapan kehidupan manusia
sebagai hasil budaya manusia seperti
alat rumah tangga, bangunan, perhiasan.
2.
Jenis-Jenis Manusia Purba
a.
Meganthropus
·
Jenis manusia purba
megathropus ini bedasarkan penelitian dari Van Koeningswald di Sangiran tahun
1936 dan tahun 1941. berdasarkan penelitian tersebut, para ahli menamakan
manusia ini meganthropus palaeojavanicus.
·
Meganthropus palaeojavanicus
berarti manusia besar yang berasal dari jawa. Masa hidupnya diperkirakan jaman
pleistosen awal
b.
Pithecanthropus
·
Jenis fosil pithecanthropus
ini didasarkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Eugene Dubois di dekat Trinil pada tahun 1890. pithecanthropus
erectus artinya manusia kera yang berjalan tegak. Diperkirakan hidup dan
berkembang sekitar jaman pleistosen tengah.
c.
Homo (Manusia)
·
Diteliti oleh von
Reitschoten di Wajak. Salah satunya, Homo sapiens artinya ‘manusia sempurna’
baik dari segi fisik, volume otak maupun postur badannya yang secara umum tidak
jauh berbeda dengan manusia modern.
·
Homo Sapiens tidak kekar
seperti Homo Erectus, namun Homo Sapiens karakter yang lebih berevolusi dan
modern contohnya bertambahnya kapasitas otak, mempunyai kapasitas otak yang
jauh lebih besar (rata-rata 1.400 cc), Homo sapiens akhirnya tampil sebagai
spesies yang sangat tangguh dalam beradaptasi dengan lingkungannya, dan dengan
cepat menghuni berbagai permukaan dunia ini.
Penggolongan manusia Homo Sapiens
a.
Manusia Wajak (Homo
wajakensis)
·
Pada tahun 1889, manusia
Wajak ditemukan oleh B.D. van Rietschoten di sebuah ceruk di lereng pegunungan
karst di barat laut Campurdarat, temuan Wajak itu adalah Homo
sapiens. Mukanya datar dan lebar, akar hidungnya lebar dan bagian mulutnya
menonjol sedikit. Dahinya agak miring dan di atas matanya ada busur kening
nyata.
·
Mempunyai volume otak 1.630 cc. Wajak kedua
ditemukan oleh Dubois pada tahun 1890 di tempat yang sama. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa manusia wajak bertubuh tinggi dengan isi tengkorak yang
besar. Wajak sudah termasuk Homo sapiens, jadi sangat berbeda ciri-cirinya
dengan Pithecanthropus.
b.
Manusia Liang Bua
·
Pada bulan September 2003, Peter Brown dan Mike J. Morwood menemukan
manusia Liang Bua. Temuan itu dianggap baru yang kemudian diberi nama Homo
floresiensis.
·
Pada tahun 1950-an, di Liang Bua ditemukan beberapa fragmen tulang
manusia oleh Th. Verhoeven. Pada waktu itu, dia menemukan tulang iga yang
berasosiasi dengan berbagai alat serpih dan gerabah. Pada 1965, juga ditemukan
tujuh buah rangka manusia beserta beberapa bekal kubur yang antara lain berupa
beliung dan barang- barang gerabah.
·
Ciri- ciri manusia Liang Bua adalah tengkorak yang panjang dan rendah, berukuran
kecil, volume otak 380 cc.
·
R.P. Soejono (dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) pada tahun 1970
melanjutkan beberapa kerangka manusia yang di temukan di lapisan atas. Hasil
terebut menunjukkan bahwa manusia Liang Bua secara kronologi menunjukkan hunian
dari fase zaman paleotik, mesolitik, neolitik, dan paleolitik.
3.
Perdebatan Tentang Manusia
Purba Jenis Pithcanthropus ke Homo Erectus
Pemenuan fosil Pithecanthropus oleh
Dubois yang dipublikasikan pada tahun 1894 dalam berbagai majalah ilmiah
melahirkan perdebatan. Pithecanthropus erectus adalah peralihan kera ke manusia.
Kera merupakan moyang manusia. Pernyataan Dubois itu kemudian menjadi
perdebatan, apakah benar atap tengkorak dengan volume kecil, gigi-gigi
berukuran besar, dan tulang paha yang berciri modern itu berasal dari satu
individu? Sementara orang menduga bahwa tengkorak tersebut merupakan tengkorak
seekor gibon, gigi-gigi merupakan milik Pongo Dan tulang pahanya milik manusia
modern?
Perdebatan itu kemudian berlanjut hingga
ke Eropa, ketika Dubois mempresentasikan penemuan tersebut dalam seminar internasional
zoologi pada tahun 1895 di Leiden, Belanda, dan dalam pameran publik British
Zoology Society di London.Banyak ahli yang tidak mau mendengar
Dobois sehingga ia pun menyimpan seluruh hasil penelitiannya. Setelah di teliti
lebih lanjut oleh Dobois dan Bolk maka di temukanlah masalah dari perdebatan
tersebut, bahwa karena hanya perbedaan species bukan perbedaan genus. Dalam
pandangan ini maka Pithecanthrotus erectusharus diletakan dalam genus Homo, dan
untuk mempertahankan species aslinya, dinamakan Homo erectus.
c.
Asal Usul dan Persebaran
Nenek Moyang Indonesia
1.
Pendapat Para Ahli Mengenai
Asal Usul Manusia Indonesia
a)
Van Heine Geldern, Bangsa Indonesia berasal dari
daerah Asia. Pendapatnya ini dibuktikan oleh kesamaan artefak purba yang
ditemukan di Indonesia dengan artefak purba di daratan Asia.
b)
Hogen
berpendapat bahwa bangsa yang mendiami pesisir Melayu di Sumatera beramilasi
secara genetik dengan bangsa Mongol yang datang pada gelombang pertama (Proto
Melayu dan Deutro Melayu).
c)
Drs. Moh. Ali beranggapan bahwa asal usul nenek moyang
bangsa Indonesia bersumber dari daerah Yunan, Cina. Anggapan ini dipengaruhi
oleh pendapat Mens yang menyebut jika bangsa Indonesia berasal dari daerah
Mongol yang terdesak oleh bangsa-bangsa yang lebih kuat kala itu.
d)
Prof. Dr. Krom mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia
adalah keturunan asli orang-orang China Tengah. Hal ini didasari pemikiran
sederhana, yaitu karena di Cina Tengah banyak sekali terdapat sungai besar.
Sebagian dari mereka menyebar ke seluruh kawasan Indonesia pada zaman batu tua
(sekitar 2.000 SM sampai 1.500 SM).
e)
Dr. Brandes berpendapat jika suku-suku yang mendiami
kepulauan Indonesia mempunyai kesamaan secara etnik, fisik, maupun bahasa
dengan beberapa bangsa yang mendiami daerah-daerah yang melintang dari utara di
Pulau Formosa (Taiwan), barat di Pulau Malagasi (Madagaskar), selatan di Jawa
dan Bali; serta timur di tepi pantai barat Amerika.
f) Mayundar berpendapat
bahwa bangsa-bangsa yang berbahasa Austronesia berasal dari India, kemudian
menyebar ke Indocina terus ke daerah Indonesia dan Pasifik. Pendapat Mayundar
ini didukung oleh penelitannya berdasarkan bahasa Austria yang merupakan bahasa
muda di India Timur.
g)
Prof. Mohammad Yamin menentang semua teori-teori yang menyebut
jika nenek moyang bangsa Indonesia justru berasal dari luar Indonesia. Menurut
beliau, orang Indonesia saat ini benar-benar asli berasal dari wilayah
Indonesia sendiri. Ia justru malah meyakini jika ada sebagian bangsa dan suku
di luar negeri yang nenek moyangnya berasal dari Indonesia.
h)
Kern
berpendapat bahwa bangsa Indonesia berasal dari Asia. Teorinya ini berdasarkan
perbandingan bahasa. Karena bahasa-bahasa yang dipakai di kepulauan Indonesia
adalah Polinesia, Melanesia, dan Mikronesia, berasal dari satu akar yang sama
yaitu bahasa Austronesia.
2.
Proto-Melayu,
Deutro-Melayu, Melanesoid, Negrito, dan Weddid
A. Proto Melayu
Proto Melayu adalah rumpun bangsa Austronesia yang datang pertama kali di Indonesia sekitar 1500 tahun SM. Ras melayu ini memilki ciri-ciri rambut lurus, kulit kuning kecoklat-coklatan, dan bermata sipit. Ras proto melayu ini membawa peradaban batu di kepulauan Indonesia. Ras Proto Melayu melebur menjadi suku bangsa Batak, Dayak, Toraja, Alas, dan Gayo. Kedatangan bangsa Austronesia dari daratan Yunan menuju Indonesia menempuh dua jalur, yaitu:
1. Jalur Utara dan Timur
Melalui Teluk Tonkin menuju Taiwan
(Formosa), Filipina, Sulawesi, dan Maluku dengan membawa
kebudayaan kapak lonjong.Persebaran periode
Proto Melayu ini membawa kebudayaan batu baru/Neolithikum.
2. Jalur Barat dan Selatan
Melalui Semenanjung Malaka, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Nusa Tenggara dengan membawa kebudayaan kapak
persegi. Persebaran periode Deutro Melayu ini mebawa kebudayaan logam.
B. Deutro Melayu
Deutro Melayu adalah rumpun bangsa Austronesia yang datang di Indonesia pada gelombang kedua terjadi pada sekitar 500 tahun SM. Bangsa Melayu Muda datang ke Indonesia melalui jalur barat, yakni berangkat dari Yunani, Teluk Tonkin, Vietnam, Thailand, Semenanjung Malaka, dan kemudian menyeberangi Selat Malaka hingga sampai di Kepulauan Indonesia. Penyebaran manusia purba di Indonesia tidak berlangsung dalam satu tahap. Berdasarkan bukti-bukti sejarah yang ditemukan, kedatangan manusia purba di indonesia berlangsung tiga tahap, yaitu:
1. Zaman mesolithikum
Terjadi gelombang masuk manusia purba melonosoid dan daerah teluk tonkin, vietnam, melalui jalur fhilipina, malaysia dan indonesia. Sisa keturunan bangsa melonosoid yang masih ditemukan, antara lain orang sakai di siak, orang aeta di filipina, orang semang di malaysia, dan orang papua melonosoid di indonesia
2. Zaman neolithikum (200 SM)
Terjadi perpindahan manusia purba dari rumpun bangsa melayu tua (proto melayu) dari daerah yunan, china, melalui jalur semenanjung malaya, indonesia, filipina, dan formosa. Kebudayaan neolithikum, khususnya jenis kebudayaan kapak persegi dan kapak lonjong.
3. Zaman perundagian
Terjadi perpindahan manusia purba dari rumpun bangsa melayu muda ( deutero melayu ) dari daerah teluk tonkin, vietnam ke daerah daerah di sebelah selatan vietnam, termasuk indonesia.
Bangsa ini merupakan pendukung kebudayaan perunggu, terutama kapak corong nekara , moko, bejana perunggu, dan arca perunggu. Kebudayaannya sering disebut kebudayaan Don son karena berasal dari donson teluk tonkin.
C. Melanesoid
Ras Melanesoid terdapat di Papua. Menurut Daldjoeni suku bangsa Melanesoid sekitar 70% menetap di Papua, Sedangkan 30% lagi tinggal di beberapa kepulauan di sekitar Papua dan Papua-Nugini. Kedatangan bangsa melanesoid di Papua berawal saat zaman es terakhir, yaitu tahun 70.000 SM. Peradaban bangsa melanesoid di kenal dengan paleotikum. Asal mula bangsa Melanesoid, yaitu Proto Melanesia merupakan penduduk pribumi di pulau Jawa. Mereka adalah manusia Wajak yang tersebar ke timur dan menduduki Papua, sebelum zaman es berakhir dan sebelum kenaikan permukaan laut.
B. Deutro Melayu
Deutro Melayu adalah rumpun bangsa Austronesia yang datang di Indonesia pada gelombang kedua terjadi pada sekitar 500 tahun SM. Bangsa Melayu Muda datang ke Indonesia melalui jalur barat, yakni berangkat dari Yunani, Teluk Tonkin, Vietnam, Thailand, Semenanjung Malaka, dan kemudian menyeberangi Selat Malaka hingga sampai di Kepulauan Indonesia. Penyebaran manusia purba di Indonesia tidak berlangsung dalam satu tahap. Berdasarkan bukti-bukti sejarah yang ditemukan, kedatangan manusia purba di indonesia berlangsung tiga tahap, yaitu:
1. Zaman mesolithikum
Terjadi gelombang masuk manusia purba melonosoid dan daerah teluk tonkin, vietnam, melalui jalur fhilipina, malaysia dan indonesia. Sisa keturunan bangsa melonosoid yang masih ditemukan, antara lain orang sakai di siak, orang aeta di filipina, orang semang di malaysia, dan orang papua melonosoid di indonesia
2. Zaman neolithikum (200 SM)
Terjadi perpindahan manusia purba dari rumpun bangsa melayu tua (proto melayu) dari daerah yunan, china, melalui jalur semenanjung malaya, indonesia, filipina, dan formosa. Kebudayaan neolithikum, khususnya jenis kebudayaan kapak persegi dan kapak lonjong.
3. Zaman perundagian
Terjadi perpindahan manusia purba dari rumpun bangsa melayu muda ( deutero melayu ) dari daerah teluk tonkin, vietnam ke daerah daerah di sebelah selatan vietnam, termasuk indonesia.
Bangsa ini merupakan pendukung kebudayaan perunggu, terutama kapak corong nekara , moko, bejana perunggu, dan arca perunggu. Kebudayaannya sering disebut kebudayaan Don son karena berasal dari donson teluk tonkin.
C. Melanesoid
Ras Melanesoid terdapat di Papua. Menurut Daldjoeni suku bangsa Melanesoid sekitar 70% menetap di Papua, Sedangkan 30% lagi tinggal di beberapa kepulauan di sekitar Papua dan Papua-Nugini. Kedatangan bangsa melanesoid di Papua berawal saat zaman es terakhir, yaitu tahun 70.000 SM. Peradaban bangsa melanesoid di kenal dengan paleotikum. Asal mula bangsa Melanesoid, yaitu Proto Melanesia merupakan penduduk pribumi di pulau Jawa. Mereka adalah manusia Wajak yang tersebar ke timur dan menduduki Papua, sebelum zaman es berakhir dan sebelum kenaikan permukaan laut.
Di Papua manusia Wajak hidup
berkelompok-kelompok kecil di sepanjang muara-muara sungai. Mereka hidup dengan
menangkap ikan di sungai dan meramu tumbuh-tumbuhan serta akar-akaran, serta
berburu di hutan belukar. Tempat tinggal mereka berupa perkampungan-perkampungan
yang terbuat dari bahan-bahan yang ringan. Rumah-rumahnya hanya berupa kemah
atau tadah angin, yang sering didirikan menempel pada dinding gua yang besar.
Karena terdesaknya bangsa Proto Melanesoid oleh bangsa Melayu, mereka belum sempat
mencapai kepulauan Papua yang membuat mereka melakukan pencampuran dengan ras
baru itu. Pencampuran bangsa Melayu dengan Melanesoid menghasilkan keturunan
Melanesoid-Melayu, saat ini mereka merupakan penduduk Nusa Tenggara Timur dan
Maluku.
D. Negrito & Weddid
Sebutan Negrito di berikan oleh orang-orang Spanyol Negrito memiliki kulit ynag berwarna hitam mirip dengan jenis-jenis Negro. Kelompok Weddid terdiri atas orang-orang dengan kepala mesochepal dan letak mata yang dalam sehingga nampak seperti berang, kulit mereka coklat tua dan ting rata-rata lelakinya 155 cm. Weddid artinya jenis Wedda yaitu bangsa yang terdapat di pulau Ceylon, Srilanka. Persebaran orang-orang Weddid di nusantara di antaranya Palembang dan Jambi (Kubu), di Siak (Sakai) dan di Sulawesi pojok Tenggara (Toala, Tokea dan Tomuna).
D. Negrito & Weddid
Sebutan Negrito di berikan oleh orang-orang Spanyol Negrito memiliki kulit ynag berwarna hitam mirip dengan jenis-jenis Negro. Kelompok Weddid terdiri atas orang-orang dengan kepala mesochepal dan letak mata yang dalam sehingga nampak seperti berang, kulit mereka coklat tua dan ting rata-rata lelakinya 155 cm. Weddid artinya jenis Wedda yaitu bangsa yang terdapat di pulau Ceylon, Srilanka. Persebaran orang-orang Weddid di nusantara di antaranya Palembang dan Jambi (Kubu), di Siak (Sakai) dan di Sulawesi pojok Tenggara (Toala, Tokea dan Tomuna).
3.
Teori Asal Usul Nenek Moyang
Bangsa Indonesia
1.
Teori
Nusantara
Teori ini menyatakan bahwa asal muasal nenek moyang bangsa nusantara berasal dari wilayah nusantara itu sendiri. Jadi manusia purba yang kelak menjadi nenek moyang bangsa indonesia berasal dari wilayah indonesia sendiri.
Teori ini menyatakan bahwa asal muasal nenek moyang bangsa nusantara berasal dari wilayah nusantara itu sendiri. Jadi manusia purba yang kelak menjadi nenek moyang bangsa indonesia berasal dari wilayah indonesia sendiri.
2. Teori
Yunan
Teori ini menyatakan bahwa manusia purba di indonesia atau nenek moyang bangsa ini berasal dari yunan bagian cina selatan. Teori ini berdasarkan adanya kesamaan artefak dan bahasa melayu yang berkembang di nusantara serumpun dengan bahasa yang ada di negara kamboja. dengan kata lain kemiripan bahasa melayu dengan bahsa kamboja menandakan adanya pertalian dengan daratan yunan. Serta artefak kapak tua yang di temukan di indonesia mempunyai kemiripan dengan kapak tua yang ditemukan di daerah asia tengah.Menurut teori ini datangnya orang yunan ke wilayah nusantara terdiri dari tiga gelombang yaitu : perpindahan orang negrito, perpindahan orang proto melayu, dan perpindahan orang melayu deutro.
Teori ini menyatakan bahwa manusia purba di indonesia atau nenek moyang bangsa ini berasal dari yunan bagian cina selatan. Teori ini berdasarkan adanya kesamaan artefak dan bahasa melayu yang berkembang di nusantara serumpun dengan bahasa yang ada di negara kamboja. dengan kata lain kemiripan bahasa melayu dengan bahsa kamboja menandakan adanya pertalian dengan daratan yunan. Serta artefak kapak tua yang di temukan di indonesia mempunyai kemiripan dengan kapak tua yang ditemukan di daerah asia tengah.Menurut teori ini datangnya orang yunan ke wilayah nusantara terdiri dari tiga gelombang yaitu : perpindahan orang negrito, perpindahan orang proto melayu, dan perpindahan orang melayu deutro.
Ø orang negrito, dipercaya sebagai penduduk paling awal di wilayah nusantara
yaitu sejak 1000 SM, hal ini berdasarkan dari penemuan arkeologi di gua cha
kelantan negara malaysia. Keturunan ras ini adalah suku Siak (Sakai) serta suku
Papua Melanesoid
Ø proto melayu, perpindahan terjadi antara tahun 2.500 SM, mempunyai perdaban
yang lebih maju dari orang negrito karena sudah mampu bercocok tanam. Keturunan
ras ini adalah suku Toraja, Dayak, Sasak, Nias, Rejang dan Batak.
Ø melayu deutro, diperkirakan terjadi pada tahun 1.500 SM, mereka hidup di daerah
pantai serta mahir dalam berlayar. Keturunan ras ini adalah suku Minangkabau, Aceh, Jawa, Melayu, Betawi
dan Manado
4.
Teori Out of Afrika dan Out
of Taiwan
Teori Out of
Taiwan
Teori
ini berpandangan bahwa bangsa yang ada di Nusantara ini berasal dari Taiwan
bukan Yunan. Teori ini didukung oleh Harry Truman Simanjuntak. Menurut
pendekatan linguistic, dijelaskan bahwa dari keseluruhan bahasa yang
dipergunakan suku-suku di Nusantara memiliki rumpun yang sama, yaitu rumpun
Austronesia. Akar dari keseluruhan cabang bahasa yang dipergunakan leluhur yang
menetap di Nusantara berasal dari rumpun Austronesia di Formosa atau dikenal
dengan rumpun Taiwan. Selain itu, menurut riset genetika yang dilakukan pada
ribuan kromosom tidak menemukan kecocokan pola genetika dengan wilayah
Cina.
Teori Out of
Africa
Teori
ini menyatakan bahwa manusia modern yang hidup sekarang berasal dari Afrika.
Dasar dari teori ini adalah berdasarkan ilmu genetika melalui penelitian DNA
mitokondria gen perempuan dan gen laki-laki. Menurut ahli dari Amerika Serikat,
Max Ingman, manusia modern yang ada sekarang ini berasal dari Afrika antara
kurun waktu 100-200 ribu tahun lalu. Dari Afrika, mereka menyabar ke luar
Afrika. Dari hasil penelitian Ingman, tidak ada bukti yang menunjukan bahwa gen
manusia modern bercampur dengan gen spesies manusia purba.
d.
Corak Kehidupan Masyarakat
Praaksara
1. Pola
Hunian
Pola
Hunian pola hunian manusia purba yang memperlihatkan dua karakter khas hunian
purba yaitu, (1) kedekatan dengan sumber air dan (2) kehidupan di alam terbuka.
Pola hunian itu dapat dilihat dari letak geografis situs-situs serta
kondisi lingkungannya. Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu
adalah situs-situs purba di sepanjang aliran Bengawan Solo (Sangiran,
Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan Ngandong) merupakan contoh-contoh dari
adanya kecenderungan manusia purba menghuni lingkungan di pinggir sungai.
Air
merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Air juga diperlukan oleh tumbuhan
maupun binatang. Keberadaan air pada suatu lingkungan mengundang hadirnya
berbagai binatang untuk hidup di sekitarnya. Begitu pula dengan
tumbuh-tumbuhan, air memberikan kesuburan bagi tanaman. Keberadaan air juga
dimanfaatkan manusia sebagai sarana penghubung dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Melalui sungai, manusia dapat melakukan mobilitas dari satu tempat ke
tempat yang lainnya.
2. Berburu-Meramu sampai Bercocok Tanam
Masa
manusia purba berburu dan meramu itu sering disebut dengan masa food gathering.
Hidup mereka umumnya masih tergantung pada alam. Untuk mempertahankan hidupnya
mereka menerapkan pola hidup nomaden atau berpindah-pindah tergantung dari
bahan makanan yang tersedia. Alat-alat yang digunakan terbuat dari batu yang
masih sederhana. Hal ini terutama berkembang pada manusia Meganthropus dan
Pithecanthropus.
Tempat-tempat
yang dituju oleh komunitas itu umumnya lingkungan dekat sungai, danau, atau
sumber air lainnya termasuk di daerah pantai. Mereka hanya mengumpulkan dan
menyeleksi makanan karena belum dapat mengusahakan jenis tanaman untuk
dijadikan bahan makanan. Dalam perkembangannya mulai ada sekelompok manusia
purba yang bertempat tinggal sementara, misalnya di gua-gua, atau di tepi
pantai.
Peralihan
Zaman Mesolitikum ke Neolitikum menandakan adanya revolusi kebudayaan dari food
gathering menuju food producing dengan Homo sapien sebagai pendukungnya.
Kegiatan bercocok tanam dilakukan ketika mereka sudah mulai bertempat tinggal,
walaupun masih bersifat sementara. Mereka melihat biji-bijian sisa makanan yang
tumbuh di tanah setelah tersiram air hujan.
Pelajaran
inilah yang kemudian mendorong manusia purba untuk melakukan cocok tanam. Apa
yang mereka lakukan di sekitar tempat tinggalnya, lama kelamaan tanah di
sekelilingnya habis, dan mengharuskan pindah. mencari tempat yang dapat
ditanami. Ada yang membuka hutan dengan menebang pohon-pohon untuk membuka
lahan bercocok tanam.
Pada
masyarakat masa berburu dan mengumpulkan makanan diduga telah muncul
kepercayaan. Buktinya adalah ditemukannya penguburan di Gua Lawa, Sampung,
Ponorogo, Jawa Timur. Gua Sodong, Besuki, Jawa Timur dan Bukit Kerang, Aceh. Dari mayat-mayat tersebut ditaburi cat
merah.
3. Kehidupan Sosial Ekonomi
- Sistem kepercayaan manusia purba
Di
masa bercocok tanam, maka kepercayaan masyarakat akan semakin meningkat. Inti
kepercayaan berupa penghormatan dan pemujaan untuk roh nenek moyang yang
berkembang dari zaman ke zaman. Diindonesia sendiri, terdapat kepercayaan dan
pemujaan untuk roh nenek moyang yang terlihat lewat adanya
peninggalan-peninggalan tugu-tug batu atau berupa bangunan-bangunan seperti
megalithikum
e. Perkembangan Teknologi
Para ahli kemudian membagi kebudayaan zaman batu di era
pra-aksara ini menjadi beberapa zaman atau tahap perkembangan. Dalam buku R.
Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I, dijelaskan bahwa kebudayaan
zaman batu ini dibagi menjadi tiga yaitu, Paleolitikum, Mesolitikum dan
Neolitikum
1. Antara Batu dan Tulang
Peralatan pertama yang digunakan oleh manusia purba adalah
alat-alat dari batu yang seadanya dan juga dari tulang. Peralatan ini berkembang
pada zaman Paleolitikum atau zaman batu tua. Zaman batu tua ini bertepatan
dengan zaman Neozoikum terutama pada akhir zaman Tersier dan awal zaman
Quartair. Zaman ini berlangsung sekitar 600.000 tahun yang lalu. Zaman ini
merupakan zaman yang sangat penting karena terkait dengan munculnya kehidupan
baru, yakni munculnya jenis manusia purba. Zaman ini dikatakan zaman batu tua
karena hasil kebudayaan terbuat dari batu yang relatif masih sederhana dan
kasar.
Kebudayaan zaman Paleolitikum ini secara umum ini terbagi menjadi Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong.
Kebudayaan zaman Paleolitikum ini secara umum ini terbagi menjadi Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong.
·
Di daerah Pacitan
sejumlah alat-alat batu berupa kapak genggam, chopper, alat penetak/kapak
berimbas (berupa kapak tetapi tidak bertangkai digunakan dengan digenggam di
tangan).
·
Di daerah Ngandong
ditemukan alat-alat dari batu dan tulang yang berfungsi sebagai penusuk/belati
a. Kebudayaan Pacitan
Kebudayaan ini berkembang di daerah Pacitan, Jawa Timur. von
Koeningwald dalam penelitiannya pada tahun 1935 telah menemukan beberapa hasil
teknologi bebatuan atau alat-alat dari batu di Sungai Baksoka dekat Punung.
Alat batu itu masih kasar, dan bentuk ujungnya agak runcing, tergantung
kegunaannya. Alat batu ini sering disebut dengan kapak genggam atau kapak
perimbas. Kapak ini digunakan untuk menusuk binatang atau menggali tanah saat
mencari umbi-umbian. Di samping kapak perimbas, di Pacitan juga ditemukan alat
batu yang disebut dengan chopper sebagai alat penetak. Di Pacitan juga
ditemukan alat-alat serpih. Alat-alat itu oleh Koeningswald digolongkan sebagai
alatalat “paleolitik”, yang bercorak “Chellean”, yakni suatu tradisi yang
berkembang pada tingkat awal paleolitik di Eropa. Pendapat Koeningswald ini
kemudian dianggap kurang tepat
Setelah Movius berhasil menyatakan temuan di Punung itu sebagai salah
satu corak perkembangan kapak perimbas di Asia Timur. Tradisi kapak perimbas
yang ditemukan di Punung itu kemudian dikenal dengan nama “Budaya
Pacitan”. Kapak perimbas itu tersebar di wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan
Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Flores, dan Timor. Pendapat para ahli condong
kepada jenis manusia Pithecanthropus atau keturunan-keturunannya sebagai
pencipta budaya Pacitan. Pendapat ini sesuai dengan pendapat tentang umur
budaya Pacitan yang diduga dari tingkat akhir Plestosin Tengah atau awal
permulaan Plestosin Akhir.
b. Kebudayaan Ngandong
Kebudayaan Ngandong berkembang di daerah Ngandong dan juga Sidorejo, dekat Ngawi. Di daerah ini banyak ditemukan alat-alat dari batu dan juga alat-alat dari tulang. Alat-alat dari tulang ini berasal dari tulang binatang dan tanduk rusa yang diperkirakan digunakan sebagai penusuk atau belati. Selain itu, ditemukan juga alat-alat seperti tombak yang bergerigi. Di Sangiran juga ditemukan alat-alat dari batu, bentuknya indah seperti kalsedon. Alat-alat ini sering disebut dengan flake. Sebaran artefak dan peralatan paleolitik cukup luas sejak dari daerah-daerah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Halmahera.
2. Antara Pantai dan Gua
Zaman batu terus berkembang memasuki zaman batu madya atau batu
tengah yang dikenal zaman Mesolitikum. Hasil kebudayaan batu madya ini sudah
lebih maju apabila dibandingkan hasil kebudayaan zaman Paleolitikum (batu tua).
Bentuk dan hasil-hasil kebudayaan zaman Paleolitikum tidak serta merta punah
tetapi mengalami penyempurnaan. Bentuk flake dan alat-alat dari tulang terus
mengalami perkembangan. Secara garis besar kebudayaan Mesolitikum ini terbagi
menjadi dua kelompok besar yang ditandai lingkungan tempat tinggal, yakni di
pantai dan di gua.
a. Kebudayaan Kjokkenmoddinger.
Kjokkenmoddinger istilah dari bahasa Denmark, kjokken berarti
dapur dan modding dapat diartikan sampah (kjokkenmoddinger = sampah dapur).
Dalam kaitannya dengan budaya manusia, kjokkenmoddinger merupakan tumpukan
timbunan kulit siput dan kerang yang menggunung di sepanjang pantai Sumatra
Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan. Dengan kjokkenmoddinger ini dapat
memberi informasi bahwa manusia purba zaman Mesolitikum umumnya bertempat
tinggal di tepi pantai.
Pada tahun 1925 Von Stein Callenfals melakukan penelitian di bukit kerang itu dan menemukan jenis kapak genggam (chopper) yang berbeda dari chopper yang ada di zaman Paleolitikum. Kapak genggam yang ditemukan di bukit kerang di pantai Sumatra Timur ini diberi nama pebble atau lebih dikenal dengan Kapak Sumatra. Kapak jenis pebble ini terbuat dari batu kali yang pecah, sisi luarnya dibiarkan begitu saja dan sisi bagian dalam dikerjakan sesuai dengan keperluannya. Di samping kapak jenis pebble juga ditemukan jenis kapak pendek dan jenis batu pipisan (batu-batu alat penggiling). Di Jawa batu pipisan ini umumnya untuk menumbuk dan menghaluskan jamu.
Pada tahun 1925 Von Stein Callenfals melakukan penelitian di bukit kerang itu dan menemukan jenis kapak genggam (chopper) yang berbeda dari chopper yang ada di zaman Paleolitikum. Kapak genggam yang ditemukan di bukit kerang di pantai Sumatra Timur ini diberi nama pebble atau lebih dikenal dengan Kapak Sumatra. Kapak jenis pebble ini terbuat dari batu kali yang pecah, sisi luarnya dibiarkan begitu saja dan sisi bagian dalam dikerjakan sesuai dengan keperluannya. Di samping kapak jenis pebble juga ditemukan jenis kapak pendek dan jenis batu pipisan (batu-batu alat penggiling). Di Jawa batu pipisan ini umumnya untuk menumbuk dan menghaluskan jamu.
b. Kebudayaan Abris Sous Roche
Kebudayaan abris sous roche merupakan hasil kebudayaan yang ditemukan
di gua-gua. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia purba pendukung kebudayaan
ini tinggal di gua-gua. Kebudayaan ini pertama kali dilakukan penelitian oleh
Von Stein Callenfels di Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo. Penelitian dilakukan
tahun 1928 sampai 1931. Beberapa hasil teknologi bebatuan yang ditemukan
misalnya ujung panah, flakke, batu penggilingan. Juga ditemukan alat-alat dari
tulang dan tanduk rusa. Kebudayaan abris sous roche ini banyak ditemukan
misalnya di Besuki, Bojonegoro, juga di daerah Sulawesi Selatan seperti di
Lamoncong.
3. Mengenal Api
Bagi manusia purba, proses penemuan api merupakan bentuk inovasi
yang sangat penting. Penemuan api kira-kira terjadi pada 400.000 tahun yang
lalu. Penemuan pada periode manusia Homo erectus. Api digunakan untuk
menghangatkan diri dari cuaca dingin. Penemuan api juga memperkenalkan manusia
pada teknologi memasak makanan dengan cara membakar. Manusia juga menggunakan
api sebagai senjata menghalau binatang buas yang menyerangnya. Api dapat juga
dijadikan sumber penerangan. Dengan api manusia dapat menaklukkan alam, seperti
membuka lahan untuk garapan dengan cara membakar hutan.
Pada awalnya pembuatan api dilakukan dengan cara membenturkan
dan menggosokkan yang mudah terbakar dengan benda padat lain. Misalnya saja
batu api, jika dibenturkan ke batuan keras lainnya akan menghasilkan percikan
api. Percikan tersebut kemudian ditangkap dengan dedaunan kering, lumut atau
material lain yang kering hingga menimbulkan api. Pembuatan api juga dapat
dilakukan dengan menggosok suatu benda terhadap benda lainnya, baik secara
berputar, berulang, atau bolak-balik. Sepotong kayu keras misalnya, jika
digosokkan pada kayu lainnya akan menghasilkan panas karena gesekan itu
kemudian menimbulkan api.
Penelitian-penelitian arkeologi di Indonesia sejauh ini belum
menemukan sisa pembakaran dari periode ini. Namun bukan berarti manusia purba
di kala itu belum mengenal api. Sisa api yang tertua ditemukan di Chesowanja,
Tanzania, dari sekitar 1,4 juta tahun lalu, yaitu berupa tanah liat kemerahan
bersama dengan sisa tulang binatang. Akan tetapi belum dapat dipastikan apakah
manusia purba membuat api atau mengambilnya dari sumber api alam (kilat,
aktivitas vulkanik, dll). Hal yang sama juga ditemukan di China (Yuanmao,
Xihoudu, Lantian), di mana sisa api berusia sekitar 1 juta tahun lalu. Namun
belum dapat dipastikan apakah itu api alam atau buatan manusia. Teka-teki ini
masih belum dapat terpecahkan, sehingga belum dipastikan apakah bekas tungku
api di Tanzania dan Cina itu merupakan hasil buatan manusia atau pengambilan
dari sumber api alam.
4. Sebuah Revolusi
Perkembangan zaman batu yang dapat dikatakan paling penting
adalah zaman batu baru atau neolitikum. Pada zaman ini telah terjadi perubahan
pola hidup manusia. Pola hidup food gathering digantikan dengan pola food
producing. Pada zaman ini telah hidup jenis Homo sapiens sebagai pendukung
kebudayaan zaman batu baru. Mereka mulai mengenal bercocok tanam dan beternak ,
hidup bermasyarakat dengan bergotong royong mulai dikembangkan. Hasil
kebudayaan yang terkenal di zaman neolitikum ini secara garis besar dibagi
menjadi dua tahap perkembangan.
a. Kebudayaan Kapak Persegi
Nama kapak persegi berasal dari penyebutan oleh von Heine
Geldern. Dinamakan Kapak Persegi berdasarkan penampangnya berupa persegi
panjang atau trapesium. Pengertian kapak persegi bukan hanya kapak saja, tetapi
banyak alat lain dalam berbagai ukuran dan keperluan seperti beliung/pacul alat
yang besar ,dan yang kecil yaitu tarah dgunakan untuk mengerjakan kayu. Penyebaran
kapak persegi terutama di Kepulauan Indonesia bagian barat, seperti Sumatra,
Jawa dan Bali. Diperkirakan sentrasentra teknologi kapak persegi ini ada di
Lahat (Palembang), Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya (Jawa Barat), kemudian
Pacitan-Madiun, dan di Lereng Gunung Ijen (Jawa Timur). Kapak persegi ini cocok
sebagai alat pertanian.
b. Kebudayaan Kapak Lonjong
Nama kapak lonjong ini disesuaikan dengan bentuk penampang alat
ini yang berbentuk lonjong. Pada ujung yang lancip ditempatkan tangkai dan pada
bagian ujung yang lain diasah sehingga tajam. Kapak yang ukuran besar sering
disebut walzenbeil dan yang kecil dinamakan kleinbeil. Penyebaran jenis kapak
lonjong ini terutama di Kepulauan Indonesia bagian timur, misalnya di daerah
Papua, Seram, dan Minahasa.
Pada zaman Neolitikum, juga ditemukan barang-barang
perhiasan, seperti gelang dari batu, juga alat-alat gerabah atau tembikar.
Manusia purba waktu itu sudah memiliki pengetahuan tentang kualitas bebatuan
untuk peralatan. Penemuan dari berbagai situs menunjukkan bahan yang paling
sering dipergunakan adalah jenis batuan kersikan (silicified stones), seperti
gamping kersikan, tufa kersikan, kalsedon, dan jasper.
Di beberapa situs yang mengandung fosil-fosil kayu, seperti di
Kali Baksoka (Jawa Timur) dan Kali Ogan (Sumatra Selatan) tampak ada upaya
pemanfaatan fosil untuk bahan peralatan. Pada saat lingkungan tidak menyediakan
bahan yang baik, ada kecenderungan untuk memanfaatkan batuan yang tersedia di
sekitar hunian, walaupun kualitasnya kurang baik. Contoh semacam ini dapat
diamati pada situs Kedunggamping di sebelah timur Pacitan, Cibaganjing di
Cilacap, dan Kali Kering di Sumba yang pada umumnya menggunakan bahan andesit
untuk peralatan.
c. Perkembangan Zaman Logam
Mengakhiri zaman batu masa Neolitikum maka dimulailah zaman
logam atau perundagian. Zaman logam di Kepulauan Indonesia berbeda dengan yang
ada di Eropa. Di Eropa zaman logam ini mengalami tiga fase, zaman tembaga,
perunggu dan besi, sedangkan di Kepulauan Indonesia hanya mengalami zaman perunggu
dan besi. Beberapa contoh benda-benda kebudayaan perunggu itu antara lain:
kapak corong, nekara, moko, berbagai barang perhiasan. Beberapa benda hasil
kebudayaan zaman logam ini juga terkait dengan praktik keagamaan misalnya
nekara.
5. Konsep Ruang pada Hunian
(Arsitektur)
Bentuk arsitektur pada masa pra-aksara dapat dilihat dari tempat
hunian manusia pada saat itu. Dari pola mata pencaharian manusia yang sudah
mengenal berburu dan melakukan pertanian sederhana dengan ladang berpindah
memungkinkan adanya pola pemukiman yang telah menetap. Gambar-gambar dinding
goa tidak hanya mencerminkan kehidupan sehari- hari, tetapi juga kehidupan
spiritual. Cap-cap tangan dan lukisan di goa yang banyak ditemukan di Papua,
Maluku, dan Sulawesi Selatan dikaitkan dengan ritual penghormatan atau pemujaan
nenek moyang, kesuburan, dan inisiasi. Gambar dinding yang tertera pada goa-goa
mengambarkan pada jenis binatang yang diburu atau binatang yang digunakan untuk
membantu dalam perburuan. Anjing adalah binatang yang digunakan oleh manusia
pra-aksara untuk berburu binatang.
Bentuk pola hunian dengan menggunakan penadah angin,
menghasilkan pola menetap pada manusia masa itu. Pola hunian itu sampai saat
ini masih digunakan oleh Suku Bangsa Punan yang tersebar di Kalimantan. Bentuk
hunian itu merupakan bagian bentuk awal arsitektur di luar tempat hunian di
goa. Secara sederhana penadah angin merupakan suatu konsep tata ruangan yang
memberikan secara implisit memberikan batas ruang. Pada kehidupan dengan
masyarakat berburu yang masih sangat tergantung pada alam, mereka lebih
mengikut ritme dan bentuk geografis alam. Dengan demikian konsep ruang mereka
masih kurang bersifat geometris teratur. Pola garis lengkung tak teratur
seperti aliran sungai, dan pola spiral seperti route yang ditempuh mungkin
adalah citra pola ruang utama mereka. Ruang demikian belum mngutamakan arah
utama. Secara sederhana dapatlah kita lihat bahwa, pada masa praaksara konsep
tata ruang, atau yang saat ini kita kenal dengan arsitektur itu sudah mereka
kenal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar